Articles by "Puisi"

Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan




Oleh : Chan n Djuanda


Di hamparan senja yang bisu dan panjang,  

Ada hati yang kerap terjebak bayang-bayang.  

Di ujung lelah sebuah penantian,  

Terbisik kata, "Mungkin ini waktunya berserah, bukan bertahan."  


Namun ingatlah, wahai jiwa yang penuh harap,  

Cinta sejati bukanlah hadiah dari penyerah yang rapuh.  

Ia hadir di genggam tangan yang teguh,  


Tidak semua yang datang adalah jawaban,  

Dan tidak semua tawaran layak di genggam.  

Ada cinta yang tampak menyala terang,  

Namun di baliknya, hanya fatamorgana tanpa arah dan tujuan.  


Engkau bukan sekadar tubuh yang butuh pelukan,  

Bukan sekadar jiwa yang gentar karena kesendirian.  

Engkau adalah dunia, luas dan penuh makna,  

Yang pantas untuk dicintai dengan jiwa yang sama-sama bijaksana.  


Jangan menurunkan pilar impianmu yang telah kau bangun,  hanya kerana belum memiliki   

Sepi adalah sahabat yang mengajarimu berdiri,  

Bukan musuh yang harus kau usir dengan cinta setengah hati.  


Percayalah, cinta yang layak takkan datang terburu-buru,  

Ia menghampiri dalam ketepatan waktu yang tak pernah ragu.  

Ia bukan kebetulan, bukan kompromi tanpa dasar,  

Melainkan pertemuan dua jiwa yang tumbuh dengan sadar.  


Mengapa kau harus membungkam harapan,  

Hanya karena dunia membisikkan, "Waktu takkan menunggu?"  

Sedang Tuhan telah menulis ceritamu dalam kitab-Nya,  

Dan janji-Nya tak pernah sekali pun keliru.  


Lebih baik menunggu sambil memperbaiki diri,  

Daripada berlari mengejar yang tak pantas di hati.  

Lebih baik mendekap sepi sambil berdamai dengan waktu,  

Daripada memeluk cinta yang hanya akan membuatmu layu.  


Berdirilah di tebing harapan dengan penuh keyakinan,  

Bahwa pilihanmu menjaga standar bukanlah keangkuhan.  

Melainkan bentuk cinta pada dirimu yang masih bertahan,  

Dan penghormatan pada masa depan yang di inginkan.  


Sebab cinta sejati tidak hanya datang untuk mengisi ruang kosong,  

Ia datang untuk menyinari seluruh relung,  

Menggenggam tanganmu, bukan hanya sebagai pasangan,  

Tetapi juga sahabat, pemimpin, dan penguat dalam perjalanan.  


Maka jangan pernah menurunkan standar impianmu,  

Hanya karena waktu terasa lambat berlalu.  

Lebih baik berjalan sendiri di jalan yang benar,  

Daripada tersesat tanpa tujuan yang jelas dan besar.  


Percayalah, yang terbaik sedang disiapkan untukmu,  

Ia akan datang dengan wajah yang penuh rindu.  

Dan saat itu tiba, engkau akan tersenyum dan berkata,  

“Terima kasih, aku telah memilih untuk setia pada nilai dan asa.”  

Oleh : Aniyah

(Penulis) 


Ada rahasia dalam rasa secangkir kopi,  

Pahitnya menampar, namun perlahan menyentuh hati.  

Seperti hidup, tak selamanya disenangi,  

Tapi selalu ada hangat  mengendap di tepi.  


Di antara aroma robusta menguar,  

Tersembunyi kisah perjalanan jiwa yang liar.  

Menguap ke udara, menciptakan lingkaran tak kasat mata,  

Mengingatkan kita akan waktu berlalu tanpa tunggu 


Lalu ada buku, memiliki halaman demi halaman,  

Seperti detak-detak kecil di sepanjang perjalanan.  

Di dalamnya, mimpi dan luka berbagi tempat,  

Mengajarkan kita membaca dunia tanpa sekat.  


Kopi dan buku, sahabat sejati sang malam,  

Di mana kita belajar arti kata diam tanpa padam

Bahwa kehidupan adalah lembar yang tak pernah selesai,  

Dan setiap tegukan, adalah tanda kita belum bisa usai


Ada hari kita merasa hanya butiran di angkasa,  

Namun bukankah secangkir kopi juga dimulai dari biji yang sederhana?  

Begitu pula hidup, di antara patah dan harap,  

Kita mengukir cerita, meski tak sempurna, 


Jadi, hiruplah aroma pagi,  

Biarkan kopi menyelami sudut hati yang sunyi.  

Bacalah buku, biarkan kata-kata mengalirkan makna,  

Dan hiduplah, meski tak selalu terang, tetaplah berwarna.  


Oleh : Aniyah (Penulis) 


Didalam panjangnya do'a, lahirlah asa

Berbekal niat tulus dari jiwa yang luka

Tiada gemerlap tiada cahaya

Hanya keyakinan bersandar pada yang esa


Langkah pertama penuh kerikil tajam

Tertatih, terjatuh, tak jarang terdiam

Namun mimpi mulia tak pernah padam

Untuk mewujudkan impian dan harapan


Tangis malam jadi saksi perjuangan

Doa lirih menjadi bekal kekuatan

Tak peduli derasnya hujan atau panasnya siang

Yayasan ini berdiri meski dalam kepedihan


Kala cela menghampiri seperti badai

"Kau tak bisa" suara itu mengintai

Namun semangat tak pernah menyerah 

Sebab janji Tuhan pasti ada hikmah


Lambat laun cahaya kecil menyala

Dari senyum anak-anak yang tak lagi terlunta

Mereka menulis mimpi di dinding asa

Dan yayasan ini menjadi rumah yang setia


Kini masa depan tampak jelas dimata

Bersinar seperti bintang di langit senja

Jatuh terluka menjadi cerita

Bahwa kesuksesan tak akan datang dengan mudahnya 


Air Pacah, 2 Desember 2024



 

Aniyah_Chan
(Penulis) 


Kau hadir seperti mentari pagi,  

Membawa hangat pada hati yang sepi.  

Namun kini kau hilang, hanya bayang,  

Meninggalkan luka yang tak pernah hilang.  


Aku mencarimu dalam hening malam,  

Di tiap desah angin, di tiap geram.  

Namun suara itu kini bisu,  

Hanya gema rindu yang kian kelu.  


Apa kau tahu, setiap langkahku berat?  

Sebab bayangmu terus mengikat.  

Wajahmu tersisa di antara sisa air mata,  

Namun genggamanmu tak lagi ada.  


Aku memanggil, tapi kau tak menjawab,  

Namamu bergetar di ujung napas.  

Hanya doa yang kini kupunya,  

Namun itu pun terasa sia-sia.  


Seandainya waktu bisa kubekukan,  

Aku ingin kembali pada pelukan.  

Tapi takdir terlalu kejam,  

Merenggutmu tanpa memberi salam.  


Hari ini, aku berdiri di pusaramu,  

Membawa bunga yang layu bersama waktu.  

Hanya satu yang bisa kubisikkan:  

Tunggulah aku di keabadian.  


Hidupku kini hanyalah bayangan,  

Tanpa dirimu, segalanya kehilangan tujuan.  

Dan jika air mata ini tak cukup,  

Biarlah ia menjadi sungai tempatku tenggelam.  


Kau pergi, tapi aku tak benar-benar hidup lagi.  

Karena kau adalah separuh jiwa ini.  

 


Oleh : Aniyah_Chan 
(Jurnalis, Pemerhati Generasi) 


Di sudut sunyi malam ini  

Aku terduduk memeluk sepi  

Langit kelabu, bintang-bintang pergi  

Hanya bayangmu, Ibu, di hati.


Kuteriakkan namamu, tak berbalas  

Hanya gema pilu yang kembali  

Seperti ombak menghantam karang keras  

Aku terhempas, tak berdaya lagi.


Mengapa kau pergi, tinggalkan aku  

Dalam dingin tanpamu  

Tak ada lagi suara lembutmu  

Menghapus luka dan tangisku.


Langkahku terasa berat  

Dunia begitu kelam dan dingin  

Aku lelah tanpa arah  

Tanpa kasihmu, hidupku tak lagi ingin.


Kutemukan bayangmu di mimpi  

Namun pagi merebutmu kembali  

Aku ingin bersamamu, Ibu  

Karena di sini, aku tak mampu berdiri.


Di sudut sepi, aku berharap  

Bertemu lagi di keabadian 

Hingga saat itu datang,  

Hidupku, Ibu, hanya rindu yang tak terobati.


Air Pacah, 06 Oktober 2024

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.