Tunjangan Guru Naik, Mampukah Jamin Kesejahteraan Guru?
Oleh Hany Handayani Primantara, S.P
Menjadi seorang muslim yang berprofesi sebagai guru saat ini tidaklah mudah. Beban kerja dan moral yang tinggi membuat para guru justru tak mendapatkan hak gaji yang senilai dengan pengorbanannya. Hal ini membuat banyak kalangan yang berprofesi guru putar otak untuk memenuhi kebutuhannya dengan banting setir mendapatkan tambahan penghasilan. Belum lagi penghormatan terhadap guru yang memiliki jasa besar bagi generasi cenderung minim bahkan kurang adab. Mengingat hal tersebut Prabowo pun akhirnya mengumumkan terkait kenaikan gaji guru yang menjadi janji kampanye kemarin.
Pengumuman kenaikan gaji guru beliau sampaikan saat puncak peringatan Hari Guru Nasional pada Kamis, 28 November 2024. Prabowo menyebut, bagi guru berstatus ASN akan mengalami kenaikan sebesar satu kali gaji pokok. Sementara tunjangan profesi guru non-ASN akan naik menjadi Rp2 juta. (Tempo.com, 30/11/24)
Beragam respon pun bermunculan dari berbagai kalangan atas pengumuman tersebut. Salah satunya dari Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahriza Marta Tanjung. Beliau menilai, tidak ada perubahan dengan rencana menaikan gaji ASN yakni sebesar 1 kali gaji pokok. Sebab hal tersebut memang sudah terlaksana sebelumnya, adapun yang berubah adalah besaran tunjangan kesejahteraan. Itu pun dapat diperoleh setelah lolos program sertifikasi guru. Beliau menambahkan bahwa kebijakan ini sejatinya belum menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru.
Ilusi Kesejahteraan Guru dalam Sistem Sekuler
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Fahriza, nyatanya kenaikan tunjangan tersebut tentu tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan guru. Mengingat biaya kebutuhan pokok tiap harinya yang harus ditanggung oleh guru menjadi beban pengeluaran paling besar. Ditambah fakta semakin banyaknya guru yang terjerat pinjol dan judol serta banyak guru yang dipaksa memiliki profesi lain demi memenuhi kebutuhan pun menguatkan hal tersebut.
Hal ini terjadi tak lepas dari sistem kehidupan yang diterapkan kini. Status guru dianggap seperti pekerja pada umumnya yang digaji sebatas jerih payahnya. Hanya dianggap sebagai salah satu faktor produksi dalam rantai produksi suatu barang. Tidak ada bentuk penghormatan serta nilai lebih atas jasanya dibanding profesi lainnya.
Selain itu kesejahteraan guru tentunya berkaitan dengan kualitas pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan pun dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya. Selain kurikulum pendidikan yang diterapkan oleh negara, penyediaan infrastruktur pendidikan, kualitas guru yang mengajar. Semuanya saling terkait, termasuk peran negara sebagai pengurus rakyat.
Sistem hari ini hanya menjadikan negara sebatas regulator dan fasilitator. Begitu pun dalam sistem ekonomi, kebijakan SDA dibawah pengelolaan dan dikuasai asing. Hal ini menjadi bukti nyata ketidakmampuan negara sebagai pengurus rakyat. Liberalisasi perdagangan yang begitu nyata, kapitalisasi layanan pendidikan dan kesehatan jadi bukti ketidakberdayaan negara. Jika solusi bagi kesejahteraan guru hanya sebatas kenaikan tunjangan maka yang terjadi hanya sekadar ilusi kesejahteraan guru dalam sistem sekuler.
Kesejahteraan Guru dalam Pengayoman Islam
Profesi guru dalam Islam bukan sekadar pekerja yang digaji atas jerih payahnya semata. Melainkan sebuah profesi bergengsi yang memiliki peran penting dan strategis mencetak generasi berkualitas. Melalui tangan seorang guru mampu membangun generasi bangsa dan menjaga peradaban. Allah telah melebihkan kedudukan orang yang berilmu, begitu pula bagi para pemberi ilmu. Maka penghormatan kepada guru begitu besarnya, bukan hanya sekadar diberi gaji yang tinggi namun juga sikap dan perlakuan terhadap guru sangat spesial. Jadi bukan hanya sekadar sejahtera yang dijamin Islam bagi para guru melainkan juga penghormatan sebagai manusia yang diberi posisi tinggi dihadapan Allah Swt.
Gambaran kehidupan guru tidak mungkin dapat terpenuhi tanpa adanya pengelolaan negara sesuai syariat sebagaimana dulu yang dilakukan oleh kaum muslim. Tanpa disatukan oleh satu kepemimpinan pemerintahan, penerapan Islam tidaklah bisa sempurna dan paripurna dilaksanakan. Maka penting adanya penguasa yang hanif dan amanah mau menerapkan Islam kaffah. Jika itu semua mampu dilaksanakan bukan hanya para guru yang mendapat dampak kesejahteraannya melainkan masyarakat secara umum pun termasuk didalamnya.
Penguasa dalam Islam memiliki kewajiban mengurus rakyatnya. Secara otomatis ia harus memiliki kepribadian Islam yang mumpuni dalam mengelola negara. Diantaranya memiliki kepribadian sebagai penguasa sesuai standar Islam yakni sebagai akhliyah hukam (penguasa) dan nafsiah hakim (pemutus perkara). Semoga tidak lama lagi akan muncul pemimpin yang memiliki karakteristik tersebut dan mau menerapkan Islam kaffah menyatukan kaum muslim di berbagai penjuru dunia.
Allah berfirman dalam surat Al-A'raf 7: 96. "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Wallahu alam bishawab